Perjalanan Sebuah Tanda Baca

 




Perjalanan tinta kali ini membawaku berhenti sejenak pada sebuah satuan masa yang menolak untuk beranak Pinak, Ia tunggal yang berusaha untuk tetap tinggal dalam sebuah kurun waktu Yang memberinya sebuah hukuman penggal. Ahh, sial ! 


Lagi-lagi aku berhenti diparagraf ini hanya diam terpaku, membiarkan semuanya lagi-lagi berlalu. Orang-orang berlalu-lalang dengan begitu riang, Sepasang kekasih yang saling mengasihi, Keluarga yang bahagia, Anak perempuan yang bibirnya blepotan mengulum kembanggula. Aku tidak melihat duka pada mata mereka, segalanya tampak begitu bahagia, dunia tampak begitu ramah dan adil memeluk isi kepala mereka.


Apa mereka pernah menangis? Atau sedang menangis? Atau menyembunyikan tangisnya? Ah, tidak mungkin ku kira hanya aku yang menangis hehe Baiklah, aku memutuskan meninggalkan mereka pada paragraf ini. 


Aku akan pergi 

Ke suatu pagi yang sepi, tempat dimana segala bunyi dan sunyi menepi tanpa gangguan siapapun. Disana aku diam tak berani berbicara sepatah katapun. Aku takut jika bersuara sedikit saja, suaraku akan membangunkan sunyi yang maha esa. Langkah kaki ku ayun pelan-pelan, takut jika menginjak ranting kering pepohonan.


Perlahan aku menyusuri jalan setapak yang dingin, Bau petrikor menyengengat indera penciumanku. Astaga jadi semalam hujan turun di tempat ini? Kalau tahu begitu ku ajak kekasihku kemari, kasihan di Mars panas jarang sekali turun hujan.


Jalan setapak itu membawaku kesebuah Padang Savana luas yang aku tak tahu dimana ujungnya, Tuhan lagi-lagi kau pandai sekali meluluhkan penglihatan mahlukmu ini. Tapi, disana aku tak ingin lama-lama sebab di Padang Savana tak ada kembanggula.


Yasudah aku memutuskan untuk pulang saja, perjalananku sampai pada seperempat hari, matahari sudah tak seterik tadi, sebab separuh tubuhnya telah terendam air garam, ubun-ubunnya diusap lembut oleh ombak lautan.


Hehe matahari bisa nurut juga diberi aba-aba bahwa waktunya pulang sudah tiba. Padahal siang tadi dia tampak gagah sekali menyinari, Mahluk Tuhan mana yang bisa menandingi kegagahannya?Poros dari tata Surya kita semua, tapi tetap saja dia tak segagah itu untuk melawan perputaran waktu. Dia tetap taat hukum yang ditetapkan oleh waktu.


Itu matahari apalagi hanya seorang "Aku" apa kuasaku dihadapan waktu? Waktuku tak banyak pula tak lama meskipun tak sesingkat matahari juga. Tetapi tetap saja tak lama. Aku yang tak lama lahir tak lama sudah tumbuh dewasa pun tak lama akan menua. 


Menua dan sia-sia? Jangan aku tidak takut menua aku hanya takut jika sia-sia tapi, memang sejauh ini aku apa? jika bukan sebuah sia-sia yang pura-pura melupa sebab tak ingin dirinya disebut sebuah sia-sia hahah sesia-sia itu usaha ku untuk tak terlihat sia-sia. 


Baiklah teruntuk semua yang sebentar lagi atau sudah sia-sia kali ini aku tak ingin menyia-nyiakan waktuku di tempat ini, tempat dimana Tuhan menciptakan suara paling merdu berupa suara ombak, tempat paling damai serupa dataran yang tak terbatas, tempat paling misterius serupa sebuah tempat yang menelan matahari, tempat yang indah dan membuatku betah berlama-lama meskipun disini tidak ada kembanggula.


Laut, inilah aku yang tak tahu perihal aku, kemana nanti aku berlabuh sebelum kepada Tuhan. Masih adakah dermaga yang kosong untuk menampung aku yang sia-sia dan  kosong? Kalau ada segera hubungi aku ya, sebab aku tak tahu aku.








_Bunga






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Cinta Menurut Plato

Analogi Cermin Imam Al Ghazali

Benarkah Per(empu)an Tercipta dari Tulang Rusuk yang Bengkok?