Belajar Menjadi Manusia Bersama Plato

Sumber Gambar : Satriasalju



Dalam menjalani kehidupan, manusia akan mencari kebahagiaan baik kebahagian lahir maupun kebahagiaan batin. Bahkan tidak sedikit manusia yang menjadikan bahagia sebagai tujuan hidupnya. Dewasa ini manusia modern mengartikan bahagia adalah ketika seseorang memiliki banyak uang, sukses, memiliki kedudukan yang tinggi, bisa gonta-ganti mobil bahkan pasangang. Namun, Kehilangan nilai atau kebermaknaan hidup dilihat sebagai suatu hal yang tidak penting.

Bahaya mengartikan kebahagiaan (hanya) seperti definisi di atas akan menghilangkan nilai kita sebagai manusia. Maka jangan heran jika dalam lingkungan kita makin banyak manusia yang tidak manusia, bersikap apatis tidak peduli dengan manusia lainya. Jika memang benar hal-hal diatas sebagai tolak ukur kebahagiaan untuk seseorang. Lalu, mengapa tidak sedikit Miliarder yang tidak bahagia lalu memutuskan untuk bunuh diri, mengapa masih banyak artis hollywood juga melakukan hal yang sama? Lalu, bahagia sebenarnya itu yang seperti apa?

Seorang filsuf pada masa keemasan filsafat Yunani yang terlahir di Athena dan meninggal pada usia 80 tahun di Athena juga. Bernama Plato (427-347 SM). Mengatakan bahwa manusia dapat bahagia ketika dirinya menjadi manusia seutuhnya. Lalu, manusia seperti apa yang dikatakan sudah menjadi manusia? Menurut Plato yaitu manusia yang dapat menyeimbangkan 3 unsur jiwa di dalam dirinya, apa saja unsur jiwa tersebut? Yaitu ada Epithumia, Thumos dan Logistikos.

Epithumia adalah nafsu-nafsu primitif yang ada di dalam diri manusia, yang harus segera dipenuhi dan insting ini sulit sekali tunduk kepada akal (ego individual). Jika dianalogikan dalam tubuh manusia Epithumia terletak pada bagian perut kebawah jauh dari kepala. Nafsu-Nafsu seperti makan, minum dan seks adalah bagian dari Epithumia. Menurut Plato nafsu-nafsu ini kebutuhan pokok manusia, tetapi akan menjadi tidak sehat juga ketika manusia hidup hanya mengejar hal-hal tersebut tanpa mengenal puas, hal itu akan merusak dirinya sendiri.

Yang kedua ada Thumos adalah lebih kepada rasa atau perasaan, jika dianalogikan dalam tubuh manusia Thumos terletak diatasnya Epithumia yaitu diantara leher dan dada. Thumos merujuk pada rasa, semangat dan agresivitas. Yang merupakam ciri dari thumos adalah rasa cinta, ingin diakui, ingin dihargai, ingin mendapat pujian. Uang, makanan dan seks bukan segala-galanya bagi orang-orang yang didominasi oleh thumos. Mereka tidak lagi mengejar hal-hal material yang sifatnya rendah.

Thumos adalah keinginan-keinginan yang bersifat baik dan mudah dikendalikan oleh akal, akan tetapi jika mengikuti dirinya sendiri Thumos akan salah kaprah. Kita bisa lihat contoh manusia yang disetir oleh Thumos misalnya pendukung fanatik kubu politik tertentu, pendukung fanatik tim sepak bola tertentu dan kelompok fanatik agama tertentu. Ego kelompok mereka sudah terbangun, mereka tidak lagi memfokuskan diri dengan makan, minum, uang dll tapi dengan berani mati membela apa yang mereka yakini.

Kemudian yang terakhir ada Logistikos atau logika karena sifatnya yang bijaksana dan berakal budi jika dianalogikan dalam tubuh manusia Logistikos memiliki kedudukan paling tinggi yaitu letaknya di kepala. Menurut Plato orang yang menggunakan otaknya maka dia akan bahagia dan Logistikos ini juga yang akan mampu mengendalikan Epithumia (nafsu-nafsu primitif manusia) dan Thumos (perasaan) hasil akhir dari hal ini adalah akan tercipta manusia yang bijaksana. Manusia yang hidup hanya didorong oleh Epithumia atau Thumos saja akan merugikan peradaban, oleh sebab itu harus disertai dengan Logistikon.

Apabila manusia bisa menggunakan Epithumia, Thumos dan Logistikon sesuai dengan porsinya masing-masing maka, manusia tersebut akan menjadi manusia, sebab dia tidak lagi hanya mementingkan dirinya sendiri, tetapi juga mementingkan kelompoknya, bahkan bukan hanya kelompoknya tetapi seluruh manusia bahkan musuhnya sekalipun. Manusia yang manusia sudah selesai berbicara tentang makan, minum dan seks juga tidak lagi hanya mementingkan kelompoknya tetapi semua manusia dimatanya sama (Manusia).

Setelah sedikit mengetahui hal diatas saya, anda, kalian dan kita semua yang masih terperangkap dalam Epithumia mari, sedikit demi sedikit kita belajar untuk menjadi manusia, meskipun hal itu tidak mudah. Sebab akan sangat disayangkan jika kita hidup hanya disibukkan dengan hal-hal yang tidak jauh-jauh dari tentang mengejar makan, minum dan seks.









Coret-Coretan seorang mahluk Epithumia yang bermimpi jadi Bijaksana

-Dyahayu 












Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Cinta Menurut Plato

Analogi Cermin Imam Al Ghazali

Benarkah Per(empu)an Tercipta dari Tulang Rusuk yang Bengkok?