Analogi Cermin Imam Al Ghazali




Sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita menjalankan segala perintah Allah swt dan menjauhi segala laranganya. Tapi, apa yang terjadi? Kita seringkali melakukan hal yang dilarang oleh Allah dan meninggalkan hal yang diperintahkan oleh-Nya. Melanggar perintah-Nya seolah menjadi kebiasaan yang sudah sangat biasa kita lakukan.

Padahal kita tahu segala perintah dan larangan Allah untuk kita itu tujuanya untuk kebaikan kita. Walaupun tidak semua maksud kebaikan Allah itu bisa kita tangkap dengan akal, karena kembali lagi akal kita terbatas. Sebab, secerdas-cerdasnya kita, tetap saja kecerdasan itu seumpama setetes air dari lautanya Allah swt.

Namun, mengapa kita masih melanggar perintah Allah swt?  Kenapa kita belum mampu menangkap maksud baik dan cahaya petunjuk dari sang khaliq?  Dalam karyanya yang fonumental Ihya Ulumuddin Al Ghazali seorang filsuf dan teolog muslim Persia membahas hal itu menggunakan teori cermin Al Mir'ah. Menurut imam Al Ghazali hati manusia ibarat cermin sedangkan petunjuk Allah layaknya cahaya. Dengan begitu jika hati manusia benar-benar bersih maka, dia akan bisa menangkap cahaya dari Allah dan memantulkan cahaya itu ke sekelilingnya.

Kemudian mengapa tidak semua hati manusia mampu menerima cahaya kebaikan dari sang khaliq? Imam Al Ghazali mengatakan semua manusia awalnya lahir ke dunia dengan hati yang bersih bagaikan cermin tanpa noda. Namun, dengan seiring berjalannya waktu semakin manusia itu tumbuh dan berkembang, seiring itu juga dia melakukan salah dan dosa. Ibaratnya sekali melakukan dosa munculah satu titik hitam di cermin, dua kali, tiga kali dan seterusnya.

Semakin banyak dia melakukan dosa, semakin banyak pula titik-titik hitam di cermin miliknya. Sehingga cermin itu kotor dan tidak dapat menerima cahaya dengan baik. Begitu pula dengan hati manusia. Lalu, bagaimana agar cermin (hati) dalam diri kita mampu menangkap cahaya dari Allah dan memantulkanya kepada sekitar?

Yaitu dengan cara beribadah intensif kepada-Nya baik yang wajib maupun sunah, berdoa dan memohon ampunan kepada-Nya atas segala dosa-dosa. Namun, jangan lupa niatkan segala ibadah itu murni semata-mata hanya mencari ridho dari Allah swt. Karena jika salah niatnya ibadah kita akan sia-sia dan jatuh nilainya menjadi sebuah ritual seremonial belaka. Ibadahnya hanya menjadi ibadah raga dan tidak menjadi laku tubuh dalam kesehariannya, hasilnya nanti adalah kita menjadi manusia yang rajin beribadah namun juga rajin berbuat dosa, yang rajin memuji Allah juga rajin mencela sesama.

Ibadah yang hanya berhenti di aktivitas raga tidaklah berdampak apa-apa bagi kesucian hati. Sebab ibadah yang demikian tidak akan memperoleh rindha dari Allah. Sebab idealnya adalah jika seorang manusia benar-benar beribadah, hubungan dia dengan tuhan baik begitupun juga dengan sesama mahluk. Wujud nyata seorang hamba telah beribadah ialah dia mampu memanusiakan manusia. Ketika ibadah seorang hamba sudah ibadah jiwa dan raga niscaya ibarat cermin yang bersih  dia mampu menangkpa cahaya dari Allah dan memantulkan cahaya atau kebaikan kepada orang-orang  disekelilingnya.









Coretan dari seorang hamba yang cerminya masih penuh dengan noda hitam

-Dyahhayu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Cinta Menurut Plato

Benarkah Per(empu)an Tercipta dari Tulang Rusuk yang Bengkok?